JAKARTA -- Kebijakan afirmatif terhadap Orang Asli Papua (OAP) dipastikan berlanjut pasca Papua dimekarkan menjadi lima provinsi. Hal tersebut telah dijamin oleh UU Otsus Papua 2021 dan peraturan pemerintah yang telah diterbitkan oleh pemerintah.
"Pemekaran Papua akan memberikan akses penambahan lapangan pekerjaan baru dan memberi ruang kepada OAP untuk terlibat semakin luas dan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan," kata Valentinus Sudarjanto Sumito, direktur penataan daerah, otonomi khusus dan dewan pertimbangan otonomi daerah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, hari ini, 29 Mei 2022, di Jakarta.
Berbicara menanggapi adanya isu yang berembus bahwa pemekaran berpotensi membawa masuknya masyarakat pendatang dan meminggirkan OAP, Valentinus menyadari adanya keterbatasan pemahaman sementara pihak akan tujuan pemekaran.
Menurut dia, kebijakan afirmasi terhadap OAP telah dijamin dalam UU Otsus 2021 beserta Peraturan Pemerintah (PP) turunannya yang telah terbit.
"Saya dapat pastikan orang yang meniupkan isu itu belum memahami UU Otsus Papua," kata Valentinus.
Dia mengatakan UU Otsus Papua memberikan afirmasi kepada OAP untuk mendapat prioritas dalam berpartisipasi di semua sektor.
Dengan demikian tidak beralasan anggapan bahwa pemekaran akan membuat OAP terpinggirkan, khususnya dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan yang dimekarkan.
Valentinus mengatakan pemerintah telah menerbitkan dua PP turunan dari UU Otsus Papua, yaitu PP 106 tahun 2021 dan PP 107 tahun 2021.
"Di dalam dua aturan turunan tersebut, sudah jelas dalam segala sektor perekonomian, dan dalam kepegawaian pemerintahan, telah diberikan mandat khusus yang memprioritaskan OAP dengan tidak mengacu kepada standar kewenangan yang diatur dalam UU Pemda," kata Valentinus.
Dua PP tersebut, kata dia, memberikan kewenangan yang hanya dimiliki oleh pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat terkait dengan kebijakan afirmasi OAP.
Dalam jangka pendek, lanjut Valentinus, PP tersebut menjamin adanya proteksi dan afirmasi terhadap OAP dengan adanya kekhususan dan keistimewaan untuk menjadi prioritas dalam segala sektor di Tanah Papua.
Dalam jangka panjang, PP tersebut menjamin proteksi dan afirmasi dalam bentuk perbaikan kualitas sumber daya manusia.
Di antaranya, proteksi dan afirmasi di bidang pendidikan dan pelatihan dan perbaikan pelayanan kesehatan.
Valentinus meluruskan persepsi tentang tujuan pemekaran Papua yang masih kerap disalahartikan.
Ia mengatakan pemekaran Papua bertujuan untuk mengoptimalkan rentang jangkauan layanan pemerintahan menghadapi kondisi geografis Papua yang sulit.
Selama ini akses layanan publik di Papua, seperti pendidikan dan kesehatan, menjadi keluhan.
Pemekaran diharapkan mendekatkan layanan tersebut sehingga rakyat Papua lebih mudah mendapat akses.
Tujuan lain dari pemekaran Papua adalah memberikan penambahan lapangan pekerjaan baru dan memberikan ruang kepada OAP untuk terlibat semakin luas dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Ia memastikan pemekaran adalah kebutuhan objektif Papua dan mendapat dukungan luas dari rakyat Papua.
"Berdasarkan fakta dan dukungan yang diberikan selama ini mayoritas masyarakat Papua setuju (pemekaran) dibuktikan dengan banyaknya dukungan yang disertai dokumen aspirasi yang ditandatangani oleh berbagai pihak yang kurang lebih jumlahnya 80 an kabupaten," kata Valentinus.
Karena itu, pemerintah merasa perlu untuk menangkap aspirasi dari daerah-daerah (kabupaten/kota), baik dari unsur pemerintah daerah, lembaga adat, masyarakat adat, tokoh masyarakat dan masyarakat Papua pada umumnya.
"Aspirasi dukungan adanya pemekaran itu jelas terasa dan nyata," kata Valentinus.
Rapat paripurna DPR telah mengesahkan tiga RUU usul inisiatif DPR terkait pemekaran wilayah Papua pada 12 April 2022.
Ketiga RUU tersebut adalah RUU tentang Provinsi Papua Selatan (Ha Anim), RUU tentang Provinsi Papua Tengah (Meepago), dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan Tengah (Lapago).
Pasca disahkannya menjadi RUU, DPR juga telah menerima surat presiden (Surpres) tentang kesiapan pemerintah membahas ketiga RUU tentang Daerah Otonomi Baru (DOB) tersebut.
Presiden telah menunjuk beberapa menteri untuk melakukan pembahasan RUU tersebut dengan DPR, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Perencanaan Negara/Bappenas, Menteri Hukum dan Perundang-undangan dan HAM, dan Menteri Keuangan.###